Sebuah
visi baru untuk pendidikan di abad ke-21 kini mulai terbentuk. Pendidikan yang
berkualitas harus mendukung perkembangan individu sebagai pembelajar sepanjang
hidupnya.
Pendidikan
harus bisa membantu orang belajar fokus memecahkan masalah dan kolaborasi.
Untuk itu, pendidikan harus memberikan dasar untuk belajar, mulai dari membaca,
menulis, dan menghitung hingga keterampilan ilmiah, digital, sosial, dan
emosional.
Pendidikan
juga harus mengembangkan kapasitas siswa untuk beradaptasi dengan dunia kerja
yang berubah dengan cepat, dapat diakses semua orang dari tahap paling awal dan
sepanjang hidup mereka. Proses ini harus membantu semua orang belajar untuk
hidup dan bekerja bersama, memahami diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap
satu sama lain serta terhadap planet kita.
Mengantisipasi
abad 21, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization) telah merumuskan visi dasar pendidikan (Ada yang menyebutkan lima
visi dasar dengan menambahkan learning to learn). Ini artinya, pendidikan masa
depan menurut UNESCO haruslah mengacu pada empat dasar itu. Atau dapat dikatakan,
jika tidak mengacu pada empat dasar tersebut maka pendidikan tidak akan sesuai
dengan tantangan kehidupan di milenium ketiga ini. UNESCO dalam bahasa agama
dalam waktu bersamaan dapat pula berarti sedang menjelaskan nilai-nilai ajaran
Islam dengan bahasa Unesco. Uraian empat dasar UNESCO tersebut adalah sebagai
berikut:[1]
1. Learning To Think
How
to think merupakan keterampilan berpikir dalam melihat sebuah permasalahan dari
berbagai sudut pandang. Keterampilan ini merupakan prasyarat bagi terbentuknya
keunggulan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, memahami dan
menetapkan skala prioritas alternatif pemecahan masalah yang dihadapi secara
efektif dan efisien (Mukhadis, 2009:226).
Keterampilan
ini lebih berorientasi pada kemampuan menganalisis dan berpikir kritis terhadap
suatu fenomena (masalah). Kemampuan berpikir sintetik merupakan kemampuan
membangkitkan ide baru dan menarik, lebih berperan dalam penemuan terhadap
alternatif pemecahan masalah yang belum dikenal sebelumnya (berpikir kreatif).
Sedangkan kemampuan berpikir praktikal merupakan kemampuan menerjemahkan teori
ke dalam praktek, dan merubah ide-ide abstrak ke arah kecakapan praktikal.
Kemampuan praktikal juga mempunyai arti sebagai kemampuan melaksanakan
alternatif pemecahan masalah yang telah ditemukan, dinilai khalayak, diberi
masukan, dan bagaimana kita menyikapi terhadap masukan.
Dalam
banyak ayat al-Quran mengajarkan untuk berpikir dan belajar, baik menggunakan
istilah berpikir maupun tantangan secara langsung. Ungkapan afala taqilun”
(apakah kamu tidak menggunakan akal/ berpikir ? sebagai ungkapan teguran dan
Allah) kita jumpai di dalam al-Quran tidak hanya sekali. Al-Quran juga
menyebutkan bahwa salah satu ciri ulu al-albab adalah mereka yang berpikir
tentang penciptaan langit dan bumi . Lebih dan sekedar teguran dan suruhan
untuk perpikir, tidak sedikit ayat yang berupa tantangan berpikir secara nil,
(bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan dan bagaimana bumi
dibentangkan).
Curiousity
(keingintahuan) menjadi sangat penting dalam hidup, dan hal ini baru dapat
terwujud jika kita mampu selalu berpikir. Dalam tradisi Islam, termasuk
syut-untuk dapat ilmu adalah dzaka (cerdas-minimal 1Q normal) dan hirsh (sikap
ingin tahu atau curious). Kita juga tidak lupa terhadap kisah Nahi Ibrahim dan
Nabi Ismil. Ketiga Ibrahim menyampaikan wahyu Allah untuk menyembelih Ismail,
ia menyuruh ismail untuk berpikir yang benar yang dapat menghasilkan kesimpulan
yang benar pula.
Berpikir
juga erat sekali kaitannya dengan belajar seumur hidup (min al mad ila
al-lahd). Lebih dari itu, dalam abad 21 ini, berpikir di tantang untuk
mengikuti perkemnbangan dan sekaligus mengembangkan alat-alat yang digunakan
dalam information to technologiy yang menjadi salah satu ciri globalisasi.[2]
2. Learning to do
Learning to do,
yang berarti belajar untuk melakukan sesuatu. Artinya, seseorang belajar untuk
dapat menggunakan pengetahuan tersebut secara praktikal dalam kehidupannya
sehari-hari. Walaupun secara umum pengertian belajar ini berkaitan dengan
tujuan di sekolah kejuruan di mana mempersiapkan peserta didik untuk dapat
mengaplikasikan pengetahuan di dunia kerja, kita perlu melihatnya dengan sudut
pandang yang lebih luas.
Pada dasarnya
pendidikan berperan besar dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, di
berbagai sektor, termasuk perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Untuk dapat melakukan berbagai inovasi dan pemikiran-pemikiran
kreatif, kegiatan belajar hendaknya diprioritaskan pada pemerolehan pengetahuan
baru yang dapat ditransformasikan pada pemecahan masalah dan gagasan inovatif
serta kritis untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Agama Islam banyak
menyebutkan perintah Allah kepada hamba hanya agar beramal shalih. Amal shalih
(perbuatan/karya. yang baik) adalah salah satu syarat agar seseorang tidak
berada pada tempat yang paling rendah (asfala saflin). Lebih dan itu, ada juga
tantangan Allah kepada manusia agar mengelola bumi seisinya. Namun, dalam waktu
bersamaan, Allah juga mengecam dan melarang hambanya berbuat kerusakan di atas
bumi. Sudah barang tentu, di samping kemampuan (skill) sangat diperlukan,
ketekunan, kerja keras, tanggung jawab, disiplin dan semacamnya juga sangat
diperlukan untuk mampu berkompetisi secara ketat.
Ajaran Islam
sangat mengecam terhadap yang meminta-minta, tanpa berkarya/bekerja, meskipun
juga menganjurkan untuk berbuat baik kepada para pengemis. Nah, di sini
motivasi sangat penting, sehingga menekankan kepada murid bahwa bekerja itu
ibadah juga penting; dalam waktu bersamaan, pemaknaan ajaran ibadah dikaitkan
dengan proses keberhasilan kerja juga sangat penting. ajaran-ajaran inipun
harus mampu menjadi motivasi dan sekaligus sebagai faktor pendukung yang
dinamis untuk bekerja. Learning to do perlu pula dipahami dalam kontek bekerja
atau beramal; sedangkan learning to be (di bawah nanti) dalam kontek etika.
3. Learning to be
Secara
harfiah dapat diartikan sebagai belajar untuk menjadi. Kata “menjadi” yang
seolah-olah menggantung di akhir kalimat ini seyogianya mengacu pada hakikat
pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia.[3] Dalam hal ini, learning to
be berarti bagaimana melalui pendidikan, seorang dapat belajar untuk menjadi
manusia-manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia, unik sesuai
ciri khasnya masing-masing dan menyadari secara utuh bahwa ia dapat mengembangkan
seluruh kemampuannya dengan bertolak dari akal dan budi yang dibekali oleh Sang
Pencipta.
Man‘arafa
nafsahfa-qad ‘arafa rabbah (barangsiapa mengetahui dirinya
sendiri ia akan mengetahui Tuhannya). Dengan demikian, seseorang yang telah
menjalankan hal ini akan terhindar dan sikap dengki, serakah, dan sifat tercela
(perilaku tercela) Karena tahu diri ia akan menghindarkan dirinya di luar
kemampuannya. Dengan sikap ini pula ia akan menghindarkan dan sikap serakah,
ketergantungan kepada orang lain, dan sesamanya. Hasil akhira akan mandiri dan
menyadari realitas. Ajaran ini memerlukan sikap tahu diri juga akan
menghasilkan perilaku (keadilan) dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada.
Pendidikan haruslah mengajarkan kepada anak didik agar menjadi ‘tahu diri
sehingga sadar atas kekurangannya, kemudian belajar. Sadar atas kemampuannya
akan membangkitkan.[4]
4. Learning to Live Together
Learning
to live together, yang berarti belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang
lain. Dalam kaitannya dengan kecakapan abad ke-21, belajar satu ini berkaitan
dengan keterampilan untuk dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang
lain sehingga seseorang dapat mencapai target pribadi maupun target bersama
kelompok maupun yang sifatnya universal bagi kesejahteraan umat manusia.[5] Kita ketahui bahwa dalam
menjalani kehidupan di dunia, akan banyak konflik yang disebabkan pergesekan
kepribadian individu dan kepentingan yang ingin dicapai.
Oleh karenanya, belajar untuk hidup bersama
ini penting sehingga setiap individu dapat saling menghargai perbedaan. Dengan
demikian, seseorang mampu mengoptimalkan potensi masing-masing sehingga dapat
menghasilkan yang terbaik, tanpa menjatuhkan maupun merugikan pihak lain.
Dunia
realitas memang terdiri dan pelbagai macam etnis, suku, agama, eksklusivisme
yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat
terjadi. Kenyataan ini semakin kongkrit lagi dengan adanya globalisasi yang
dikualifikasi alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali
tidak dapat dihindari.
Oleh
karena itu, cara yang luwes dipilih adalah kesanggupan untuk belajar hidup
berdampingan bersama-sama, tanpa harus uniformity (serba satu); saling
mernanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang kéhidupan bersama. Sudah
barang tentu batasannya tipis sekali, yakni hanya akidah yang tidak
diperbolehkan campuran.
Di
dalam kitab suci umat Islam tersebut banyak tertuang perintah Allah untuk hidup
dengan baik, berperilaku baik, dan tidak berbuat kerusakan. Lagi-lagi pada
dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang sewaktu-waktu butuh tenaga atau
bantuan dari orang lain. Firman Allah SWT terkait hal ini adalah:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Q.S Al-Qashash : 77)
Pada
beberapa ayat lain, Allah menegaskan berulang-ulang tentang anjuran kepada
manusia untuk tidak berbuat kerusakan. Ayat-ayat tersebut seperti “...Sembahlah
olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di
muka bumi berbuat kerusakan.”(Q.S Al-Ankabut: 36) Kemudian, “Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan.”(Q.S As-Syu’araa: 183) Ayat yang hampir serupa
adalah, “Dan Syu'aib berkata: ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(Q.S
Hud: 85)
Anjuran
untuk tidak berbuat kerusakan sebagaimana terfirman di dalam al-Quran itu
bermakna bahwa seharusnya manusia senantiasa berbuat kebaikan, cinta damai, dan
hidup berdampingan secara aman maupun tenteram dengan sesama. Maka dari itu,
ajaran untuk senantiasa “hidup dalam kebersamaan” yang bersumber dari wahyu
Allah.
[1] Azizy, A. Qodri. Islam dan Permasalahan
Sosial. Cet-3. (Yogyakarta: LKIS. 2011), 31
[2] Azra. Azyumardi. Esei- Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cet-5 (Jakarta Logos 2012), 109.
[3] Dr. Ni Nyoman Parawati. Belajar
& Pembelajaran. Rajagrafindo Persada, 2018. Hal. 14-16
[4] Bailyn. Bernard. Education Inthe
Forming Of American Society. Ed-8. (New York : Narton & Company. 2010),
211.
[5] Op.cit.,
16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar