Selasa, 11 Juni 2024

Visi Pendidikan Abad 21 dalam Persfektif Ajaran Islam

 




Sebuah visi baru untuk pendidikan di abad ke-21 kini mulai terbentuk. Pendidikan yang berkualitas harus mendukung perkembangan individu sebagai pembelajar sepanjang hidupnya.

Pendidikan harus bisa membantu orang belajar fokus memecahkan masalah dan kolaborasi. Untuk itu, pendidikan harus memberikan dasar untuk belajar, mulai dari membaca, menulis, dan menghitung hingga keterampilan ilmiah, digital, sosial, dan emosional.

Pendidikan juga harus mengembangkan kapasitas siswa untuk beradaptasi dengan dunia kerja yang berubah dengan cepat, dapat diakses semua orang dari tahap paling awal dan sepanjang hidup mereka. Proses ini harus membantu semua orang belajar untuk hidup dan bekerja bersama, memahami diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap satu sama lain serta terhadap planet kita.

Mengantisipasi abad 21, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) telah merumuskan visi dasar pendidikan (Ada yang menyebutkan lima visi dasar dengan menambahkan learning to learn). Ini artinya, pendidikan masa depan menurut UNESCO haruslah mengacu pada empat dasar itu. Atau dapat dikatakan, jika tidak mengacu pada empat dasar tersebut maka pendidikan tidak akan sesuai dengan tantangan kehidupan di milenium ketiga ini. UNESCO dalam bahasa agama dalam waktu bersamaan dapat pula berarti sedang menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam dengan bahasa Unesco. Uraian empat dasar UNESCO tersebut adalah sebagai berikut:[1]

1.   Learning To Think

How to think merupakan keterampilan berpikir dalam melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Keterampilan ini merupakan prasyarat bagi terbentuknya keunggulan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, memahami dan menetapkan skala prioritas alternatif pemecahan masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien (Mukhadis, 2009:226).

Keterampilan ini lebih berorientasi pada kemampuan menganalisis dan berpikir kritis terhadap suatu fenomena (masalah). Kemampuan berpikir sintetik merupakan kemampuan membangkitkan ide baru dan menarik, lebih berperan dalam penemuan terhadap alternatif pemecahan masalah yang belum dikenal sebelumnya (berpikir kreatif). Sedangkan kemampuan berpikir praktikal merupakan kemampuan menerjemahkan teori ke dalam praktek, dan merubah ide-ide abstrak ke arah kecakapan praktikal. Kemampuan praktikal juga mempunyai arti sebagai kemampuan melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah ditemukan, dinilai khalayak, diberi masukan, dan bagaimana kita menyikapi terhadap masukan.

Dalam banyak ayat al-Quran mengajarkan untuk berpikir dan belajar, baik menggunakan istilah berpikir maupun tantangan secara langsung. Ungkapan afala taqilun” (apakah kamu tidak menggunakan akal/ berpikir ? sebagai ungkapan teguran dan Allah) kita jumpai di dalam al-Quran tidak hanya sekali. Al-Quran juga menyebutkan bahwa salah satu ciri ulu al-albab adalah mereka yang berpikir tentang penciptaan langit dan bumi . Lebih dan sekedar teguran dan suruhan untuk perpikir, tidak sedikit ayat yang berupa tantangan berpikir secara nil, (bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan dan bagaimana bumi dibentangkan).

Curiousity (keingintahuan) menjadi sangat penting dalam hidup, dan hal ini baru dapat terwujud jika kita mampu selalu berpikir. Dalam tradisi Islam, termasuk syut-untuk dapat ilmu adalah dzaka (cerdas-minimal 1Q normal) dan hirsh (sikap ingin tahu atau curious). Kita juga tidak lupa terhadap kisah Nahi Ibrahim dan Nabi Ismil. Ketiga Ibrahim menyampaikan wahyu Allah untuk menyembelih Ismail, ia menyuruh ismail untuk berpikir yang benar yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar pula.

Berpikir juga erat sekali kaitannya dengan belajar seumur hidup (min al mad ila al-lahd). Lebih dari itu, dalam abad 21 ini, berpikir di tantang untuk mengikuti perkemnbangan dan sekaligus mengembangkan alat-alat yang digunakan dalam information to technologiy yang menjadi salah satu ciri globalisasi.[2]

2.       Learning to do

Learning to do, yang berarti belajar untuk melakukan sesuatu. Artinya, seseorang belajar untuk dapat menggunakan pengetahuan tersebut secara praktikal dalam kehidupannya sehari-hari. Walaupun secara umum pengertian belajar ini berkaitan dengan tujuan di sekolah kejuruan di mana mempersiapkan peserta didik untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan di dunia kerja, kita perlu melihatnya dengan sudut pandang yang lebih luas.

Pada dasarnya pendidikan berperan besar dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, di berbagai sektor, termasuk perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Untuk dapat melakukan berbagai inovasi dan pemikiran-pemikiran kreatif, kegiatan belajar hendaknya diprioritaskan pada pemerolehan pengetahuan baru yang dapat ditransformasikan pada pemecahan masalah dan gagasan inovatif serta kritis untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Agama Islam banyak menyebutkan perintah Allah kepada hamba hanya agar beramal shalih. Amal shalih (perbuatan/karya. yang baik) adalah salah satu syarat agar seseorang tidak berada pada tempat yang paling rendah (asfala saflin). Lebih dan itu, ada juga tantangan Allah kepada manusia agar mengelola bumi seisinya. Namun, dalam waktu bersamaan, Allah juga mengecam dan melarang hambanya berbuat kerusakan di atas bumi. Sudah barang tentu, di samping kemampuan (skill) sangat diperlukan, ketekunan, kerja keras, tanggung jawab, disiplin dan semacamnya juga sangat diperlukan untuk mampu berkompetisi secara ketat.

Ajaran Islam sangat mengecam terhadap yang meminta-minta, tanpa berkarya/bekerja, meskipun juga menganjurkan untuk berbuat baik kepada para pengemis. Nah, di sini motivasi sangat penting, sehingga menekankan kepada murid bahwa bekerja itu ibadah juga penting; dalam waktu bersamaan, pemaknaan ajaran ibadah dikaitkan dengan proses keberhasilan kerja juga sangat penting. ajaran-ajaran inipun harus mampu menjadi motivasi dan sekaligus sebagai faktor pendukung yang dinamis untuk bekerja. Learning to do perlu pula dipahami dalam kontek bekerja atau beramal; sedangkan learning to be (di bawah nanti) dalam kontek etika.

3.       Learning to be

Secara harfiah dapat diartikan sebagai belajar untuk menjadi. Kata “menjadi” yang seolah-olah menggantung di akhir kalimat ini seyogianya mengacu pada hakikat pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia.[3] Dalam hal ini, learning to be berarti bagaimana melalui pendidikan, seorang dapat belajar untuk menjadi manusia-manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia, unik sesuai ciri khasnya masing-masing dan menyadari secara utuh bahwa ia dapat mengembangkan seluruh kemampuannya dengan bertolak dari akal dan budi yang dibekali oleh Sang Pencipta.

Man‘arafa nafsahfa-qad ‘arafa rabbah (barangsiapa mengetahui dirinya sendiri ia akan mengetahui Tuhannya). Dengan demikian, seseorang yang telah menjalankan hal ini akan terhindar dan sikap dengki, serakah, dan sifat tercela (perilaku tercela) Karena tahu diri ia akan menghindarkan dirinya di luar kemampuannya. Dengan sikap ini pula ia akan menghindarkan dan sikap serakah, ketergantungan kepada orang lain, dan sesamanya. Hasil akhira akan mandiri dan menyadari realitas. Ajaran ini memerlukan sikap tahu diri juga akan menghasilkan perilaku (keadilan) dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada. Pendidikan haruslah mengajarkan kepada anak didik agar menjadi ‘tahu diri sehingga sadar atas kekurangannya, kemudian belajar. Sadar atas kemampuannya akan membangkitkan.[4]

4.       Learning to Live Together

Learning to live together, yang berarti belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain. Dalam kaitannya dengan kecakapan abad ke-21, belajar satu ini berkaitan dengan keterampilan untuk dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain sehingga seseorang dapat mencapai target pribadi maupun target bersama kelompok maupun yang sifatnya universal bagi kesejahteraan umat manusia.[5] Kita ketahui bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia, akan banyak konflik yang disebabkan pergesekan kepribadian individu dan kepentingan yang ingin dicapai.

 Oleh karenanya, belajar untuk hidup bersama ini penting sehingga setiap individu dapat saling menghargai perbedaan. Dengan demikian, seseorang mampu mengoptimalkan potensi masing-masing sehingga dapat menghasilkan yang terbaik, tanpa menjatuhkan maupun merugikan pihak lain.

Dunia realitas memang terdiri dan pelbagai macam etnis, suku, agama, eksklusivisme yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat terjadi. Kenyataan ini semakin kongkrit lagi dengan adanya globalisasi yang dikualifikasi alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali tidak dapat dihindari.

Oleh karena itu, cara yang luwes dipilih adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan bersama-sama, tanpa harus uniformity (serba satu); saling mernanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang kéhidupan bersama. Sudah barang tentu batasannya tipis sekali, yakni hanya akidah yang tidak diperbolehkan campuran.

Di dalam kitab suci umat Islam tersebut banyak tertuang perintah Allah untuk hidup dengan baik, berperilaku baik, dan tidak berbuat kerusakan. Lagi-lagi pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang sewaktu-waktu butuh tenaga atau bantuan dari orang lain. Firman Allah SWT terkait hal ini adalah:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S Al-Qashash : 77)

Pada beberapa ayat lain, Allah menegaskan berulang-ulang tentang anjuran kepada manusia untuk tidak berbuat kerusakan. Ayat-ayat tersebut seperti “...Sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan.”(Q.S Al-Ankabut: 36) Kemudian, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(Q.S As-Syu’araa: 183) Ayat yang hampir serupa adalah, “Dan Syu'aib berkata: ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(Q.S Hud: 85)

Anjuran untuk tidak berbuat kerusakan sebagaimana terfirman di dalam al-Quran itu bermakna bahwa seharusnya manusia senantiasa berbuat kebaikan, cinta damai, dan hidup berdampingan secara aman maupun tenteram dengan sesama. Maka dari itu, ajaran untuk senantiasa “hidup dalam kebersamaan” yang bersumber dari wahyu Allah.



[1] Azizy, A. Qodri. Islam dan Permasalahan Sosial. Cet-3. (Yogyakarta: LKIS. 2011), 31

[2] Azra. Azyumardi. Esei- Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cet-5 (Jakarta Logos 2012), 109.

[3] Dr. Ni Nyoman Parawati. Belajar & Pembelajaran. Rajagrafindo Persada, 2018. Hal. 14-16

[4] Bailyn. Bernard. Education Inthe Forming Of American Society. Ed-8. (New York : Narton & Company. 2010), 211.

[5] Op.cit., 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

authorHello, Nama saya Arif, saat ini sedang menempuh studi S2 di UIN SGD Bandung.
Learn More →



Statistik Blog